Kesenjangan digital telah menjadi penghalang utama dalam upaya pemerataan pendidikan, terutama di daerah terpencil yang minim infrastruktur jaringan dan akses listrik yang stabil. Di tengah transisi menuju pembelajaran hibrida pasca-pandemi, tantangan untuk memastikan bahwa setiap siswa menerima hak pendidikan yang setara, terlepas dari lokasi geografis mereka, menuntut pendekatan yang inovatif dan terencana. Oleh karena itu, merumuskan Strategi Institusi Pendidikan yang efektif untuk mengatasi kesenjangan akses pendidikan jarak jauh (PJJ) di wilayah ini menjadi imperatif etis dan nasional. Strategi ini harus melampaui sekadar penyediaan perangkat keras, tetapi juga mencakup adaptasi pedagogi dan penguatan kapasitas komunitas lokal.
Salah satu tantangan terbesar yang harus diakomodasi oleh Strategi Institusi Pendidikan adalah keterbatasan infrastruktur. Menurut data yang dirilis oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Desember 2024, disparitas akses internet di wilayah timur Indonesia mencapai 60% dibandingkan dengan wilayah barat. Kenyataan ini menegaskan bahwa model PJJ sinkron (live video conference) tidak dapat diterapkan secara universal. Solusinya terletak pada pengembangan materi pembelajaran yang dapat diakses secara asinkron atau bahkan sepenuhnya offline. Program percontohan seperti “Pintar di Pelosok,” yang diluncurkan oleh salah satu universitas swasta pada Maret 2025, misalnya, berfokus pada penyediaan tablet bertenaga surya yang telah diisi penuh dengan modul kurikulum, video pembelajaran, dan asesmen yang dapat dikerjakan tanpa koneksi internet.
Dalam menghadapi keterbatasan akses perangkat, Strategi Institusi Pendidikan harus melibatkan solusi berbasis komunitas. Alih-alih mengharapkan setiap siswa memiliki perangkat pribadi, institusi dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mendirikan “Pos Belajar Komunitas” di desa-desa. Pos ini, yang sering kali ditempatkan di balai desa atau perpustakaan kecil, dilengkapi dengan beberapa perangkat komputer atau radio komunikasi pendidikan. Contoh kerja sama konkret dapat dilihat dari penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Politeknik Negeri Sejahtera dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur pada 14 Juni 2025, yang memungkinkan pemanfaatan 45 balai desa sebagai pusat pembelajaran berbasis kelompok. Di pos ini, jadwal PJJ dapat dikoordinasikan agar siswa dapat berbagi perangkat dan mendapatkan bimbingan dari guru kunjungan atau fasilitator lokal.
Selain tantangan infrastruktur, kesenjangan literasi digital pada guru dan orang tua juga menjadi hambatan yang krusial. Guru di daerah terpencil mungkin memiliki kemampuan teknologi yang terbatas dalam membuat konten digital yang menarik, sementara orang tua mungkin kesulitan memandu anak-anak mereka dalam proses PJJ. Oleh karena itu, sebuah Strategi Institusi Pendidikan yang komprehensif harus menyertakan program pelatihan khusus. Pelatihan ini perlu fokus pada penggunaan aplikasi sederhana, pembuatan materi cetak yang efektif, dan teknik bimbingan belajar bagi orang tua. Pelatihan ini juga harus dilakukan secara tatap muka dengan protokol yang ketat, misalnya dengan hanya mengundang maksimal 10 peserta per sesi.
Secara keseluruhan, Strategi Institusi Pendidikan untuk mengatasi kesenjangan akses PJJ di daerah terpencil adalah sebuah pendekatan multifaset yang menolak solusi one-size-fits-all. Strategi ini mensyaratkan adaptasi teknologi (low-tech dan offline content), kemitraan yang kuat dengan pihak lokal untuk memanfaatkan sumber daya komunitas, dan investasi berkelanjutan dalam peningkatan kompetensi digital semua pemangku kepentingan. Hanya dengan komitmen terhadap strategi yang holistik, fleksibel, dan peka terhadap konteks lokal inilah, pendidikan jarak jauh dapat benar-benar menjadi alat untuk pemerataan, bukan untuk memperdalam kesenjangan sosial dan geografis.